Agama

Living Qur’àn MTQ ke-38 Sumut Filsafat Etika Qur’ànî : Berguru Etika Kepada ‘Shàhibu Al-Qur’àni

Penulis : Dr. Solahuddin Harahap, MA
(Ketua DPP Gerakan Dakwah Kerukunan dan Kebangsaan )

Faktaonline.com – Salah satu persoalan penting yang perlu mendapat perhatian secara serius dari para ulama serta para pemimpin kita adalah, telah terjadinya pergeseran yang kuat pada sejumlah nilai yang dianut atau teranut oleh masyarakat dan diduga telah mengakibatkan adanya pergeseran pada konsep dan penerapan etika dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa.

Kehadiran era digital sendiri telah pun mengambil posisi yang amat strategis menyangkut persoalan ini terutama dalam hal lajunya pergeseran nilai yang ada di tengah masyarakat.

Efesiensi, perluasan, serta percepatan yang menjadi isi kampanya era digital terkadang telah hadir dalam bentuk mekanisasi, parsialisasi, simplikasi, bahkan praktisasi dalam berbagai aspek. Sedangakan “sasi-sasi” ini sendiri diduga telah dapat menjadi ancaman bagi hakikat eksistensi diri dan kehidupan.

Hal itu berarti dapat pula mengancam rumusan etika atau al-akhlàq al-karîmah yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Rasulullah Muhammad Saw, yang adalah sosok manusia paling sempurna (al-insàn al-kàmil) sehingga dianugerahi sejumlah gelar seperti Rasùlullàh, Habîbullàh, al-Musthafà, al-Amîn, telah mendeklarasikan bahwa tugas utama kerasulan Beliau adalah penegakan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan kemasyarakan yang dalam Islam dikenal dengan istilah “al-akhlàq al-karîmah”.

Pada sisi lain al-Qur’àn yang Mulia sendiri telah mendeklarasikan bahwa tugas utama kerasulan Muhammad Saw yang disebut juga sebagai “Qur’an Man”–Shàhibu al-Qur’ànì, adalah untuk menjadi penyelearas, pemyeimbang, pembaharu, serta pemelihara alam semesta (rahmatan lil’àlamîn).

Dengan begitu dapat dikatakan bahwa tugas sebagai “rahmatan lil’àlamîn”– akan diimplementasikan lewat penegakan “al-akhlàq al-karîmah” dalam arti penegakan dan pembumian nilai-nilai luhur universal kemanusiaan dan kemasyarakat dalam kehidupan.

Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa betapa pentingnya posisi etika dalam kehidupan di dunia, sehingga tugas utama Junjungan Para Nabi adalah untuk pemastian terlaksananya penegakan etika tersebut dalam berbagai aspek kehidupan di dunia sebagai fondasi utama pembentukan peradaban dunia.

Oleh karena kenabian Beliau Saw bersifat setara dengan al-Qur’an yang tanpa sekat ruang maupun waktu, maka tugas penegakan etika tersebut mestilah berlaku hingga saat ini dimana kita berada di tengah arus teknologi digitalis yang sangat luar biasa ini.

AL-QUR’AN DAN ETIKA KEHIDUPAN

Seperti dijelaskan di atas bahwa keberadaan Muhammad Saw, di alam ini bergerak dari sebagai “rasulullàh” menuju “rahmatan lil’alamîn” lalu menjadi “mutammimul akhlàq”.

Dari “mutammimu al-akhlàq” menuju “uswatun hasanah” lalu menjadi “imàmu al-‘alamín” dan kemudian menjadi “syàfi’un linnàsi”.

Keseluruhan posisi Beliau ini lah yang memantaskan Beliau digelar sebagai “al-mutkhalliqu bi akhlaqi al-qur’ani”– yakni pribadi yang mampu menjadikan aktualisasi isi al-Qur’àn dalam kehidupan sebagai praktik aklahk atau etikanya.

Menjadikan aktualisasi isi al-Qur’àn sebagai rumusan moral atau etika dalam kehidupan, tentu saja bukan pekerjaan yang mudah. Sebab al-Qur’àn telah mengatur secara utuh dan menyeluruh sistem penciptaan alam semesta mulai dari desain penciptaan, pengelolaan dan pemeliharaannya, pengaturan gerak dan perubahannya, hingga mengatur bobot dan tujuannya secara eksistensial.
Atas dasar itu, maka rumusan etika kehidupan based on al-Qur’àn berarti upaya menurunkan sejumlah nilai luhur universal yang dikandung al-Qur’àn, dimana nilai-nilai tersebut sangat dibutuhkan untuk merumuskan etika kehidupan di alam semesta atau di dunia.

Secara umum dapat dikatakan bahwa nilai-nilai luhur tersebut telah identik dengan sifat dan nama Allah Swt yang dijelaskan dalam al-Qur’àn. Di antara nilai-nilai luhur tersebut adalah: al-Haqqu (kebenaran), al-‘Adàlah (keadilan), al- Rahmatu (kasih), al-Rahimu (rasa cinta dan sayang), al-lathífu (kelembutan), al-‘ijjatu (kemuliaan), al-hakamu (kebijaksanaan), al-wahhàbu dan al-razzàq (peduli dan pemurah), al-shdqu atau al-shiddíq (jujur atau kejujuran), dan lain sebagainya.

Untuk memudahkan dalam aktualisasinya, maka Rasulullah Saw, meletakkan nilai-nilai imi dalam beberapa uangkapan yang lebih dekat dengan praktik kehidupan manusia. Salah satu contoh tentang hal ini antara lain Hadis Nabi Saw yang artinya  “sayangi lah penghuni bumi yakni sesama manusia dan alam lingkungan niscaya para ruh, malaikat, dan Allah Swt, akan menyayangimu”.

Rasulullah menjelaskan cakupan pengertian kata “sayangi” itu lewat beberapa pernyataan lanjutan semisal “siapa yang membantu saudaranya, maka Allah Swt, akan membantunya”, kemudian “siapa yang memudahkan saudaranya, maka Allah Swt, akan memudahkan dan melapangkannya dari kesusahan”, ungkapan lain “siapa saja yang mau memaafkan saudaranya, maka ia akan mendapatkan ampunan dan kasih sayang dari Allah Swt”.

Bahkan lebih lanjut Rasulullah Saw, menjelaskan bahwa tidak ada iman pada diri seseorang yang dalam hatinya tidak terdapat kasih sayang. Ungkapan lain lagi, tidak sempurna keimanan seseorang sampai ia dapat menghormati tetangganya.

Demikian lah Rasulullah Saw, mengurai dari satu nilai menjadi ungkapan hikmah, untuk seterusnya dirumuskan sebagai panduan dan konsep yang dapat diaktualisasikan dalam kehidupan baik secara individu maupun ketika berada dingah masyarakat. Ada pun aktualisasi nilai-nilai ini dalam diri hingga menjadi citra diri dan jati diri dalam kehidupan individu, seterusnya diaktualisasikan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa hingga menjadi tradisi dan budaya bangsa, maka inilah yang dinamakan dengan etika kehidupan yang dibangun di atas nilai-nilai suci yang terkandung dalam al-Qur’an. Rasulullah Muhammad Saw, adalah sosok paling sukses dalam melakukan aktualisasi nilai-nilai luhur ini dalam kehidupannya secara individu dan sukses pula membangun masyarakat dengan tradisi dan budaya yang sangat menakjubkan dan dikenang hingga saat ini.

PENUTUP

Rasulullah Saw, telah mewariskan sutau bukti sejarah bahwa peradaban yang baik hanya akan lahir dari tradisi dan budaya yang dibangun di atas nilai-nilai luhur universal sebagaimana yang terkandung dalam al-Qur’an seperti yang terjadi di Yatsrib semasa hidup Beliau.

Adapun upaya ke arah itu dapat dilakukan pada setiap era dan setiap tempat dengan terlebih dahulu para penggerak peradaban mampu mengadaptasi nilai-nilai luhur tersebut ke dalam diri masing-masing hingga menjelma menjadi citra diri dan jati dirinya (al-Qur’àn hidup dan berjalan dalam diri), lalu menyebar dalam suatu komunitas atau masyarakat hingga terbangun tradisi dan budaya yang akan menjadi fondasi bagi terbangunnya bangsa atau kota dengan peradaban yang “Thayyibatun wa Rabbun Ghafùr”. Wallàhu A’lam. ***

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *